A.
Pendahuluan
Upaya pembaharuan pendidikan harus dilakukan secara terus
menerus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan
ekonomi, dan perubahan dalam masyarakat. Khususnya pada pendidikan kejuruan,
telah banyak upaya pembaharuan penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) yang dilakukan selama ini. Namun, berdasarkan hasil-hasil
kajian, pengamatan, dan penelitian, upaya pembaharuan tersebut banyak
menghadapi kendala-kendala di lapangan, yang perlu dicari alternatif
pemecahannya.
Pembaharuan pola penyelenggaraan pendidikan di SMK dimulai
sejak dilaksanakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) tahun 1994, dan dilengkapi
dengan sejumlah perangkat pelaksanaannya. Dalam perkembangan selanjutnnya,
pelaksanaan PSG lebih dimantapkan lagi dengan menggunakan acuan yang lebih
mendasar yaitu yang tertulis dalam buku “Keterampilan Menjelang 2020 untuk Era
Global” yang disusun oleh Satuan Tugas Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan
Kejuruan di Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1997). Kemudian,
penyelenggaraan PSG dibakukan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
R.I. Nomor 323/U/1997 tentang Penyelenggaraan Sistem Ganda pada Sekolah
Menengah Kejuruan tanggal 31 Desember 1997, yang memuat komponen-komponen yang diperlukan
dalam penyelenggaraan PSG. Inti dari “gerakan” ini adalah upaya untuk
mendekatkan pendidikan kejuruan ke dunia usaha/industri.
Dari aspek kurikulum, terjadi
perubahan karakteristik dari Kurikulum SMK Tahun 1994 menjadi Kurikulum SMK
Edisi 1999. Perbedaan kedua kurikulum tersebut terletak pada: pendekatan,
struktur program, periode ajaran, dan evaluasi. Pertama, Kurikulum SMK Tahun
1994 menggunakan pendekatan competency based, sedangkan Kurikulum Edisi
1999 menggunakan pendekatan kombinasi competency based dan broad
based. Kedua, struktrur program Kurikulum SMK Tahun 1994 terdiri dari
program umum dan program kejuruan, sementara itu Kurikulum SMK Edisi 1999
terdiri dari program normatif, program adaptif, dan program produktif. Ketiga,
pembelajaran menurut Kurikulum SMK 1994 disajikan dalam periode catur wulan,
sedangkan Kurikulum 1999 disajikan dalam sistem semester. Keempat, evaluasi
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara parsial, sebaliknya pelaksanaan Kurikulum
1999 akan dievaluasi secara menyeluruh.
Dalam pelaksanaan PSG, kendala dirasakan oleh kedua belah
pihak, yaitu sekolah dan industri (Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan,
1996). Disebutkan bahwa kendala yang dihadapi oleh sekolah antara lain: (1)
keragaman geografis, (2) keragaman kesiapan dan tingkat kemajuan SMK, dan (3)
keragaman program SMK yang belum seimbang dengan keragaman industri di
sekitarnya. Selanjutnya, kendala yang dirasakan oleh industri antara lain: (1)
belum dimiliki struktur jabatan dan keahlian yang mantap, terutama pada industri
kecil, dan menengah, (2) belum ada perencanaan alokasi biaya untuk pengembangan
pendidikan, (3) belum dimilikinya persepsi tentang keuntungan PSG bagi
industri, dan (4) kurangnya kesadaran tentang peningkatan keefektifan,
efisiensi, dan kualitas dalam pelaksanaan pelatihan di industri. Sementara itu,
menurut hasil penelitian Sonhadji, dkk. (1997), pelaksanaan PSG menghadapi
kendala-kendala, aptara lain sebagai berikut: (1) pendelegasian tugas dan
tanggung jawab di antara perangkat organisasi Pokja PSG belum merata, dan ada
kecenderungan dominan pada Ketua Pokja, (2) guru pembimbing belum berfungsi
secara optimal di industri, dan diantara mereka ada yang tidak relevan dengan
bidangnya, (3) kesulitan menjalin kerjasama dengan institusi pasangan yang tergolong
menengah dan besar, (4) rendahnya manajemen pengelolaan pelatihan siswa oleh
industri, terutama pada industri kecil, (5) instruktur di industri banyak yang
tidak memenuhi persyaratan serta belum berperan secara efektif, (6) masih
banyak siswa yang mencari sendiri tempat pelatihan industri, (7) kurangnya
waktu yang disediakan Majelis Sekolah untuk berkoordinasi, (8) lamanya
pengurusan perijinan dan permohonan pelatihan, (9) kurangnya disiplin dan
rendahnya kepedulian siswa terhadap keselematan kerja, dan (10) tidak
berimbangnya antara jumlah SMK dan jumlah dunia usaha/industri. Dari
temuan-temuan di atas dapat disebutkan bahwa pelaksanaan PSG selama ini
mengalami kendala-kendala struktural, geografis, potensi teknologis,
psikologis, akademis, manajerial, dan kultural.
B.
Pengertian
Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
Pendidikan
Sistem Ganda (PSG) atau mungkin lebih akrab dikenal dengan Praktek Kerja
Lapangan (PKL) adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian
profesional, yang memadukan secara sistematik dan sinkron antara program
pendidikan di sekolah dan program pengusahaan yang diperoleh melalui kegiatan
bekerja langsung di dunia kerja untuk mencapai suatu tingkat keahlian
profesional. Dimana keahlian profesional tersebut hanya dapat dibentuk melalui
tiga unsur utama yaitu ilmu pengetahuan, teknik dan kiat. Ilmu pengetahuan dan
teknik dapat dipelajari dan dikuasai kapan dan dimana saja kita berada,
sedangkan kiat tidak dapat diajarkan tetapi dapat dikuasai melalui proses
mengerjakan langsung pekerjaan pada bidang profesi itu sendiri.
Pendidikan Sistem Ganda dilaksanakan
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang profesional dibidangnya. Melalui
Pendidikan Sistem Ganda diharapkan dapat menciptakan tenaga kerja yang
profesional tersebut. Dimana para siswa yang melaksanakan Pendidikan
tersebut diharapkan dapat menerapkan ilmu yang didapat dan sekaligus
mempelajari dunia industri.
Tanpa diadakannya Pendidikan Sistem Ganda ini kita tidak dapat langsung terjun ke dunia industri karena kita belum mengetahui situasi dan kondisi lingkungan kerja. Selain itu perusahaan tidak dapat mengetahui mana tenaga kerja yang profesional dan mana tenaga kerja yang tidak profesional. Pendidikan Sistem Ganda memang harus dilaksanakan karena dapat menguntungkan semua pihak yang melaksanakannya.
Tanpa diadakannya Pendidikan Sistem Ganda ini kita tidak dapat langsung terjun ke dunia industri karena kita belum mengetahui situasi dan kondisi lingkungan kerja. Selain itu perusahaan tidak dapat mengetahui mana tenaga kerja yang profesional dan mana tenaga kerja yang tidak profesional. Pendidikan Sistem Ganda memang harus dilaksanakan karena dapat menguntungkan semua pihak yang melaksanakannya.
C.
Konsep PSG
Link and match adalah
kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang
dikembangkan untuk meningkatkan relevansi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
yaitu relevansi dengan kebutuhan pembangunan umumnya dan kebutuhan dunia kerja,
dunia usaha serta dunia industri khususnya. Beberapa prinsip yang akan dipakai
sebagai strategi dalam kebijakan Link and Match diantaranya adalah model
penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
PSG pada
dasarnya merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional
yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan
program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di
dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional
tertentu. Pada hakekatnya PSG merupakan suatu strategi yang mendekatkan
peserta didik ke dunia kerja dan ini adalah strategi proaktif yang menuntut
perubahan sikap dan pola pikir serta fungsi pelaku pendidikan di tingkat SMK,
masyarakat dan dunia usaha/industri dalam menyikapi perubahan dinamika
tersebut.
Bila pada pendidikan konvensional, program pendidikan
direncanakan, dilaksanakan dan dievalusi secara sepihak dan lebih bertumpu
kepada kepemimpinan kepala sekolah dan guru, maka pada PSG program
pendidikan direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi bersama secara terpadu
antara sekolah kejuruan dengan institusi pasangannya, sehingga fungsi
operasional dilapangan dilaksanakan bersama antara kepala sekolah, guru,
instruktur dan manager terkait, untuk itu perlu diciptakan adanya keterpaduan
peran dan fungsi guru serta instruktur sebagai pelaku pendidikan yang terlibat
langsung dalam pelaksanaa PSG dilapangan secara kondusif.
Menurut Dikmenjur (1994 : 19), kualitas guru tetap memegang
peranan kunci, oleh sebab itu program Pendidikan Menengah Kejuruan (SMK) akan
dilaksanakan dengan kegiatan pokok peningkatan mutu dan relevansi, diantaranya
melalui peningkatan mutu, karena itu program penataran guru akan tetap penting,
terutama dalam meningkatkan kemampuan professional guru yang akan dilaksanakan
melalui penataran yang memakai pendekatan “ production. Training “ Serta
peningkatan penataran dalam bentuk “ on the job training” di industri.
Hal tersebut menunjukkan, bahwa peranan dan fungsi guru
dalam PSG merupakan salah satu parameter terhadap keberhasilan
pelaksanaanya sebagaimana dinyatakan pranarka (1991), bahwa “
peran gurulah pelaksana utama di medan pendidikan aktual “.
Menurut T. Raka Joni (1991) tugas guru adalah teramat penting, secara makro
tugas itu berhubungan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang pada
akhirnya akan menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa karenanya
Nana Sujana (1989 : 12) menyatakan, bahwa kehadiran guru dalam Proses Belajar
Mengajar (PBM) tetap memegang peranan penting dan belum dapat digantikan oleh
alat secanggih apapun. Gambaran oleh pakar pendidikan tersebut dapat dipahami,
sebab masih terlalu banyak unsur-unsur manusiawi seperti sikap, system nilai perasaan,
motivasi, kebiasaan, kesiapan dan lainnya yang diharapkan merupakan hasil
proses pengajaran.
Fenomena tersebut menunjukkan, bahwa dalam suatu proses
pendidikan, keprofesionalan sangat iperlukan, lebih tegas Pranarka (1991)
menyatakan, bahwa “para guru sebagai perwira- perwira tempur didalam medan
pendidikan yang aktual”.
Ini mengisyaratkan bahwa keprofesionalan guru betul-betul
diharapkan sebagai pelaksanaan pendidikan dalam proses belajar mengajar
sehingga proses dari pendidikan tersebut peserta didik memiliki kesiapan dan
kemampuan dalam dunia yang nyata dan ini sejalan dengan tujuan PSG yaitu
menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian professional, yakni tenaga
kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang
sesuai dengan tuntutan lapangan kerja” (Aburizal Bakrie,1996:8).
Dalam upaya merealisasikan kebijakan link and match melalui
pelaksanaan PSG, selain diperlukan guru SMK yang profesional serta
instruktur yang mewakili dunia usaha / industri yang profesional pula. Instruktur
dalam PSG memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dan strategis
dalam menentukan keberhasilan peserta PSG. Menurut slamet PH. (1997)
tugas instruktur dalam PSG antara lain adalah
memberikan bimbingan, pengarahan, melatih, memotivasi dan menilai
peserta PSG, oleh karenanya instruktur dituntut mampu memahami
aspek-aspek pendidikan dan pengajaran.
Dari uraian diatas, diketahui bahwa salah satu faktor yang
dapat menentukan keberhasilan pelaksanaan PSG adalah guru dan
instruktur, oleh sebab itu baik guru maupun instruktur dituntut memiliki
kompetensi yang dipersyaratkan untuk melaksanakan peran dan fungsinya
masing-masing dalam PSG, hal ini senada dengan pernyataan T. Raka Joni
(1991) bahwa diluar lapisan tenaga propesional untuk bidang-bidang ajaran yang
memiliki kandungan keterampilan tinggi, penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar yang efektif dan efisien mempersyaratkan peran serta instruktur.”
Namun demikian kenyataan yang ada menunjukkan, bahwa guru
dan instruktur belum sepenuhnya memiliki kemampuan yang dipersyaratkan dalam
melaksanakan PSG, sebagaimana dinyatakan Dikmenjur (1997).
Bahwa permasalahan yang dihadapi adalah guru pada saat ini
belum memiliki wawasan industri dan tenaga instruktur belum memiliki wawasan
kependidikan. Rusdiono (1999) menyebutkan bahwa alasan utama melencengkan
pelaksanaan PSG. Lebih jauh Rusdiono menyebutkan bahwa alasan utama
melencengkan pelaksanaan PSG di Indonesia disebabkan oleh belum
dipahaminya konsep/pengertian PSG oleh pihak sekolah.
Bertolak dari sejumlah permasalahan, tersebut apabila
dicermati ada satu permasalahan yang perlu dikaji lebih mendalam sebab masalah
itu dihadapi baik oleh guru maupun instruktur, yakni tentang kemampuan
membimbing siswa PSG.
Kemampuan (kompetensi) guru dan instruktur dalam membimbing
siswa PSG adalah salah satu tugas dan tanggung jawab mendidik yang
paling esensi terutama dalam pelaksanaan PSG. Kemampuan guru dan
instruktur dalam membimbing siswa PSG ini banyak dipengaruhi berbagai aspek,
seperti pengetahuan, pengalaman, minat, sikap, persepsi, wawasan latar belakang
pendidikan dan faktor lingkungan lainnya.
D.
Peran Guru
dan Instruktur dalam PSG
Menurut Dikmenjur (1997) guru dipandang sebagai ujung tombak
yang sangat menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG),
yang secara khusus guru dalam PSG didefinisikan sebagai berikut : “Guru PSG
adalah individu yang memiliki kemampuan kompetensi, profesi keguruan atau
pendidik secara dominan tetapi juga harus memiliki kompetensi teknis keahlian
tertentu dan memiliki jiwa enterpreneurship (Dikmenjur, 1997).
Dalam pelaksanaan PSG guru dipersyaratkan harus
memiliki sejumlah kompetensi atau kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk
melaksanakan keprofesiannya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai guru PSG, oleh sebab itu Sahertian (1994 : 54) menyatakan bahwa
“yang dimaksud profil kompetensi ialah penampilan guru dalam melakukan tugasnya
yang memiliki syarat sesuai dengan kriteria kemampuan yang dipersyaratkan”.
Sehubungan dengan kemampuan guru dalam PSG, Dikmenjur
(1997) menjelaskan kompetensi profesi guru dalam PSG adalah sebagai
berikut : (a) Mampu mengorganisasikan program pembelajaran di SMK yang
kondusif, (b) Mampu memberikan inovasi dan motivasi kerja kepada siswa, (c)
Mampu menguasai keahlian baik secara teknis maupun secara teoritis, (d) Mampu
menguasai emosi sehingga menjadi suri teladan oleh siswa dan kawan seprofesi,
(e) Mampu berkomunikasi dan berjiwa enterpreneurship.
Berdasarkan dari sejumlah unsur kompetensi guru dalam PSG
seperti tersebut diatas, maka salah satu kemampuan yang diperlukan dari guru
dalam melaksanakan program PSG diantaranya adalah “ kemampuan membimbing
“ siswa PSG, referensi-referensi yang menekankan pentingnya guru
memiliki kemampuan membimbing adalah seperti yang dinyatakan oleh Nana Sujana
(1989), bahwa dari sepuluh kompetensi guru menurut PSG Depdiknas guru
harus mengenal fungsi layanan bimbingan dan penyuluhan.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa guru harus memiliki
kemampuan membimbing dalam kegiatan proses belajar mengajar sehingga pengajaran
berlangsung dengan efektif, hal yang sama seperti yang dinyatakan oleh Nolker
(1988), Sukamto (1988), Sahertian (1994), Soekartawi dan Sardiman (1997) serta
Soedijarto (1997), bahwa salah satu profil seorang guru adalah mempunyai
keahlian dalam memberikan bimbingan kepada siswa didiknya.
Instruktur yang diidentikan sebagai pengajar praktik
(Nolker, 1998) dan menurut T. Raka Joni (1991) instruktur ialah tenaga pengajar
bantu yang bertugas melatih secara intensif keterampilan.
Dalam PSG didefinisikan sebagai berikut : “
instruktur PSG adalah individu yang telah menguasai keahlian /
kompetensi tertentu dan telah memiliki kemampuan enterpreneurship, secara
dominan tetapi juga dituntut untuk memiliki kompetensi kejuruan (Dikmenjur,
1997)”.
Menurut Nolker (1998 : 173) “ Instruktur memberikan
bimbingan ahli bagi peserta didik dalam melakukan pekerjaan latihan serta
memberikan petunjuk-petunjuk praktis, sesuai dengan perkembangan teknologi
mutakhir. “ selanjutnya Nolker (1988) menyebutkan, bahwa instruktur juga
menyiapkan pertemuan pengajaran dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
didaktik dan ia juga memberikan nilai terhadap hasil pekerjaan latihan dan
berperan serta dalam penyelenggaraan ujian.
Bertolak dari kemampuan guru dan instruktur dalam membimbing
siswa PSG, menurut Yusuf Gunawan (1992), dan Sukardi (1995), bahwa membimbing
adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari
pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman
diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan dalam mencapai tingkat
perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Winkel
(1981), lebih rinci menguraikan bahwa “bimbingan (guidance) mempunyai
hubungan dengan guiding : Showing a Way (menunjukkan jalan), conducting
(menuntun), giving instruction (memberikan petunjuk), regulating (mengatur)
governing (mengarahkan), giving advice (memberikan nasehat)”.
Pada pelaksanaan PSG, guru dan instruktur dalam
memberikan bimbingan kepada siswa yang melaksanakan praktik industri, tentunya
kegiatan membimbing itu sendiri lebih difokuskan kepada kegiatan memimpin,
mengarahkan, menuntun dan memberikan petunjuk atau penjelasan yang secara
khusus berhubungan dengan kegiatan PSG, sehingga dengan demikian seluruh
potensi yang dimiliki siswa PSG dapat dioptimalkan sedemikian rupa
mengarah kepada pencapaian PSG.
Menurut Sukamto (1988) guru bertugas membimbing anak didik
mengembangkan rasa tanggung jawab dan disiplin, dengan memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan minat mereka pada tingkat – tingkat usia tertentu, menurut
piters yang dikutif Nana Sudjana (1989) tugas dan tanggung jawab guru sebagai
pembimbing memberikan tekanan pada tugas (aspek mendidik) dan memberi bantuan
kepada siswa dalam memecahkan masalah – masalah yang dihadapinya.
Senada dengan itu Imam Syafe’ie (1992) menyatakan, bahwa
guru sebagai pembimbing membantu siswa agar mampu mengarahkan dan menyesuaikan
diri pada lingkungan kehidupannya, ini berarti guru hendaknya mampu membantu
siswa untuk mengubah dan memecahkan masalah melalui proses hubungan
interpersonal.
Selanjutnya Soedijarto (1997) menyebutkan, bahwa bagi para
pendidik yang professional harus mampu menggunaka segala pengetahuan baik
teori, konsep, definisi, disiplin ilmu, penilaian dan teknologi
pendidikan untuk memecahkan masalah kependidikan, terutama dalam tanggung
jawabnya membimbing peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pernyataan di atas menjelaskan salah satu tugas guru dalam
Proses Belajar Mengajar (PBM) yang mengandung keterampilan, guru dalam
melaksanakan tugasnya tersebut dapat dibantu oleh instruktur seperti yang
dinyatakan oleh T Raka Joni (1991), bahwa “ diluar lapisan tenaga professional,
untuk bidang-bidang ajaran yang memiliki kandungan yang tinggi, penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar yang efektif dan efisien akan mempersyaratkan peran
serta instruktur yang bertugas melatih secara intensif keterampilan”.
Guru dan instruktur dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pembimbing siswa PSG, selain memiliki kemampuan membimbing, secara umum
dalam pelaksanaan program praktik dasar maupun praktik keahlian produktif
dituntut memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Dikmenjur (1997), yaitu : memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan mutu
pendidikan pada SMK, memiliki pengetahuan dan keterampilan memiliki sikap dan
etos kerja serta dedikasi yang tinggi terhadap bidang pekerjaan/profesinya,
memiliki wawasan dunia kerja, peka terhadap perkembangan IPTEKS, menghargai
profesinya maupun profesi lainnya dan interpersonal communication.
Dengan memiliki sejumlah persyaratan seperti diatas, maka baik
guru kejuruan maupun instruktur diharapkan mampu melaksanakan tugas
pembimbingan terhadap siswa PSG dengan baik, terarah dan efektif.
Dikmenjur (1997) menjelaskan tentang ruang lingkup tugas pembimbing PSG,
baik pada waktu siswa melakukan praktik dasar kejuruan maupun melaksanakan
praktik keahlian pada lini produksi didunia usaha / industri, yaitu : (1)
Menyeleksi calon peserta calon PSG, (2) Mengkondisikan siswa peserta PSG,
(2) Melatih dan membimbing secara sistematis pada program praktik dasar dan praktik
keahlian produktif pada lini produksi, (3) Menilai secara kontinyu terhadap
sikap dan kinerja praktik, (4) Menguji pada waktu ujian kompetensi, (5)
Memberikan motivasi kerja dan (6) Memberikan peringatan atau hukuman.
Pemahaman (comprehension) dapat diartikan menguasai
sesuatu dengan pikiran, memahami maksudnya dan menangkap maknanya (Sardiman,
1997). Pemahaman memiliki arti sangat mendasar yang meletakkan bagian-bagian
belajar pada proporsinya, oleh sebab itu pemahaman tidak sekedar tahu, tetapi
juga menghendaki agar subjek belajar dapat memanfaatkan bahan-bahan yang telah
dipahaminya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman merupakan unsur
psikologis yang penting dalam proses belajar-mengajar.
E.
Pelaksanaan
Prakerin
1.
Pengertian
Prakerin
Praktik Kerja Industri yang disingkat dengan “prakerin” merupakan
bagian dari program pembelajaran yang harus dilaksanakan oleh setiap peserta
didik di Dunia Kerja, sebagai wujud nyata dari pelaksanaan sistim pendidikan di
SMK yaitu Pendidikan Sistim Ganda (PSG). Program prakerin disusun bersama
antara sekolah dan dunia kerja dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik
dan sebagai kontribusi dunia kerja terhadap pengembangan program pendidikan
SMK.
Dengan prakerin peserta didik dapat menguasai sepenuhnya
aspek-aspek kompetensi yang dituntut kurikulum, dan di samping itu mengenal
lebih dini dunia kerja yang menjadi dunianya kelak setelah menamatkan
pendidikannya.
2.
Prinsip-prinsip
Pendidikan Kejuruan (Charles Prosser)
Keberhasilan pendidikan kejuruan / SMK diukur dari tingkat
keterserapan tamatan di dunia kerja. Untuk mencapai hal tersebut berbagai usaha
dilakukan oleh SMK melalui peningkatan mutu pembelajaran. Dalam desain
pembelajaran perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut:
a.
Efisien jika lingkungan dimana siswa
dilatih merupakan replika lingkungan dimana nanti bekerja.
b.
Efektif jika tugas-tugas diklat
dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang diperlukan dalam
pekerjaan itu.
c.
Efektif jika melatih kebiasaan
berpikir dan bekerja seperti di DuDi.
d.
Efektif jika setiap individu
memodali minatnya, pengetahuan dan ketrampilannya pada tingkat yang paling
tinggi.
e.
Efektif untuk setiap profesi,
jabatan, pekerjaan untuk setipa orang yang menginginkan dan memerlukan dan
dapat untung.
f.
Efektif jika diklat membentuk
kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang benar diulang sehingga sesuai/cocok
dengan pekerjaan.
g.
Efektif jika GURUnya mempunyai
pengalaman yang sukses dalam penerapan kompetensi pada operasi dan proses kerja
yang telah dilakukan.
h.
Pada setiap jabatan ada kemampuan
minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar dia dapat bekerja pada jabatan
tersebut.
i.
Pendidikan Kejuruan harus
memperhatikan permintaan pasar / tanda-tanda pasar.
j.
Pembiasaan efektif pada siswa
tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan nyata sarat nilai.
k.
Isi diklat merupakan okupasi
pengalaman para ahli.
l.
Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri
isi (Body of content) yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
m.
Sebagai layanan sosial efisien jika
sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memerlukan.
n.
Pendidikan Kejuruan efisien jika
metoda pengajarannya mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik.
o.
Pembiasaan efektif pada siswa
tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan nyata sarat nilai.
3. Tujuan Prakerin
a.
Pemenuhan Kompetensi sesuai tuntutan
Kurikulum.
Penguasaan kompetensi dengan pembelajaran di sekolah sangat
ditentukan oleh fasilitas pembelajaran yang tersedia. Jika ketersediaan
fasilitas terbatas, sekolah perlu merancang pembelajaran kompetensi di luar
sekolah (Dunia Kerja mitra). Keterlaksanaan pembelajaran kompetensi tersebut
bukan diserahkan sepenuhnya ke Dunia Kerja, tetapi sekolah perlu memberi arahan
tentang apa yang seharusnya dibelajarkan kepada peserta didik.
b.
Implementasi Kompetensi ke dalam
dunia kerja.
Kemampuan-kemampuan yang sudah dimiliki peserta didik,
melalui latihan dan praktik di sekolah perlu diimplementasikan secara nyata
sehingga tumbuh kesadaran bahwa apa yang sudah dimilikinya berguna bagi dirinya
dan orang lain. Dengan begitu peserta didik akan lebih percaya diri karena
orang lain dapat memahami apa yang dipahaminya dan pengetahuannya diterima oleh
masyarakat.
c.
Penumbuhan etos kerja/Pengalaman
kerja.
SMK sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan dapat
menghantarkan tamatannya ke dunia kerja perlu memperkenalkan lebih dini
lingkungan sosial yang berlaku di Dunia Kerja. Pengalaman berinteraksi dengan
lingkungan Dunia Kerja dan terlibat langsung di dalamnya, diharapkan dapat
membangun sikap kerja dan kepribadian yang utuh sebagai pekerja.
4.
Desain
Program/ Pelaksanaan Prakerin
Perancangan program prakerin tidak terlepas dari
implementasi silabus ke dalam pembelajaran, yang membutuhkan metode, strategi
dan evaluasi pelaksanaan yang sesuai.
Rancangan prakerin sebagai bagian pembelajaran perlu memperhatikan
kesiapan Dunia Kerja mitra dalam melaksanakan pembelajaran kompetensi tersebut.
Hal ini diperlukan agar dalam pelaksanaannya, penempatan peserta didik untuk
prakerin tepat sasaran sesuai dengan kompetensi yang akan dipelajari. Diagram
di bawah menunjukkan alur kerja perancangan program prakerin.
Diagram Alir Prakerin
Dari diagram di atas menunjukkan bahwa dalam perancangan
program prakerin perlu dilakukan analisis terhadap kemampuan-kemampuan yang
harus dikuasai peserta didik berdasarkan tuntutan standar kompetensi/
kompetensi dasar yang tertera dalam silabus. Analisis dimaksudkan untuk
mendapatkan informasi kompetensi apa saja yang dapat dipelajari di sekolah
dengan fasilitas yang tersedia dan kompetensi apa saja yang dipelajari di dunia
kerja.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai berikut:
a.
Analisis
Pencapaian Kompetensi Hasil Pembelajaran di Sekolah
Keseluruhan kompetensi dalam Kurikulum menjadi target utama
yang harus dikuasai oleh peserta didik selama waktu pembelajaran di SMK.
Keterbatasan fasilitas pembelajaran praktik di sekolah, perlu disiasati dengan
pemanfaatan fasilitas Dunia Kerja mitra untuk pemenuhannya.
Untuk kepentingan tersebut perlu dilakukan analisis terhadap
keseluruhan kompetensi yang didasarkan kepada fasilitas pembelajaran yang
dibutuhkan. Dengan langkah ini akan dapat diketahui apakah keseluruhan
fasilitas sudah tersedia di sekolah atau tidak.
b.
Pemetaan
Dunia Kerja
Pemetaan Dunia Kerja sangat penting dilakukan sebelum
program prakerin dirancang. Hal ini dimaksudkan agar Dunia Kerja yang dijadikan
mitra benar-benar sesuai dengan program keahlian yang sedang ditekuni oleh
peserta didik sehingga tujuan prakerin tercapai dengan baik.
Pemetaan Dunia Kerja dilakukan dengan cara melakukan
inventarisasi Dunia Kerja melalui media masa/brosur yang dilanjutkan dengan
kunjungan langsung/survei, atau dengan cara lain yang dianggap tepat.
Dunia kerja seperti apakah yang dapat dijadikan mitra oleh
sekolah ?
Secara umum dunia kerja yang dapat dilibatkan dalam program
prakerin adalah dunia kerja dengan skala regional, nasional atau multinasional,
bahkan perusahaan kecil sekalipun. Karena dalam kenyataannya justru perusahaan
berskala kecil lebih memberikan perhatian pada pembelajaran. Dengan kata lain
perusahaan berskala kecil cenderung lebih terbuka dibandingkan dengan
perusahaan besar.
c.
Menyusun
Program Prakerin
Dalam penyusunan program prakerin sebaiknya memperhatikan
karakteristik:
1) Program menunjukkan asumsi bahwa situasi belajar adalah
di tempat kerja
2) Program dapat menerima konteks berbagai perbedaan,
mencakup perbedaan individu sebagai peserta didik yang berbeda inspirasi,
termasuk di dalamnya perbedaan kultur dan perbedaan pengetahuan.
3) Program harus fleksibel tidak hanya pada satu situasi,
akan tetapi mempertimbangkan perbedaan pada butir 2. Karena setiap hari
pekerjaan mengalami perubahan dan peserta didik dapat menyesuaikan perubahan
yang terjadi.
4) Program akan selalu memiliki perbedaan dengan berbagai
tingkatan atau level, seperti perbedaan tuntutan dunia kerja dengan tuntutan
sekolah.
Berdasarkan karakteristik program di atas dan hasil
analisis, kesenjangan antara kemampuan-kemampuan yang didapatkan peserta didik
di sekolah dan Dunia Kerja, dimasukkan ke dalam sebuah format untuk
mengidentifikasi kemampuan-kemampuan tersebut sesuai kompetensi kerja yang
dimiliki oleh masing-masing Dunia Kerja mitra.
d. Implementasi
1)
Waktu Pelaksanaan
Prakerin dapat dilaksanakan sesuai dengan pembelajaran
kompetensi yang direncanakan akan diberikan di dunia kerja. Di samping itu
perlu juga mengadakan komunikasi dengan dunia kerja,dengan tujuan untuk
memastikan kesiapan dunia kerja dan pembimbing, menerima peserta prakerin
sesuai kompetensi yang diharapkan.
2)
Pembekalan Peserta Didik
Peserta didik yang akan melaksanakan prakerin harus
diberikan pembekalan terlebih dahulu tentang program yang akan dilaksanakan
sehingga betul-betul memahami apa yang harus mereka lakukan di Dunia Kerja.
Hal-hal yang menjadi fokus pembekalan antara lain:
·
Pelaksanaan program prakerin yang
dituangkan di dalam jurnal yang mereka bawa.
·
Tata tertib/aturan yang berlaku di
Dunia Kerja dimana mereka berada.
·
Menjaga/memelihara nama baik
sekolah.
3)
Pembimbing
Pembimbing terdiri dari pembimbing internal yaitu guru
produktif yang bertanggung jawab terhadap pembelajaran kompetensi, dan
pembimbing eksternal yaitu staf dari Dunia Kerja yang sekaligus bertindak
selaku instruktur pembimbing yang mengarahkan peserta didik dalam melakukan
pekerjaannya.
4)
Laporan
Semua kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik selama di
Dunia Kerja baik yang ada dalam jurnal ataupun pekerjaan lain yang diberikan
oleh instruktor pembimbing eksternal harus dicatat dan didokumentasikan sebagai
bahan untuk melakukan evaluasi terhadap program prakerin. Seluruh kegiatan harus
diketahui oleh pembimbing dengan cara membubuhkan tanda tangan pada kolom yang
tersedia.
7. Evaluasi Program Dan Tindak Lanjut
1)
Evaluasi Program
Program prakerin yang sudah dilakukan peserta didik perlu
dievaluasi untuk melihat kesesuaian antara program dengan pelaksanaannya. Hal
ini dimaksudkan sebagai dasar untuk penyusunan program tindak lanjut yang harus
dilakukan baik terhadap pencapaian kompetensi peserta didik maupun terhadap
program prakerin.
Evaluasi dilakukan dengan cara:
a)
melakukan analisis hasil laporan
yang dibuat oleh peserta didik dan hasil penilaian yang yang dilakukan oleh
pembimbing dari Dunia Kerja.
b)
paparan hasil prakerin setiap
peserta didik
2). Tindak Lanjut
Agar sekolah mendapatkan nilai tambah dari pelaksanaan
prakerin, maka sekolah dapat mengumpulkan seluruh peserta prakerin sesuai
dengan program kehliannya, untuk berbagi pengalaman tentang berbagai hal yang
mereka dapatkan di dunia kerja, baik yang berhubungan lansung dengan bidang
pekerjaannya maupun yang berkaitan dengan kehidupan sosial di lingkungan tempat
pelaksanaan prakerin.
Kegiatan ini bertujuan untuk:
a) Melatih peserta didik memecahkan masalah melalui proses
berbagi pengalaman dalam bidang pekerjaan yang sama.
b) Memperkaya pengalaman-pengalaman peserta didik dengan
menyerap pengalaman orang lain, khususnya yang sesuai dengan bidang
pekerjaannya.
c) Memberikan informasi kepada sekolah mengenai kondisi
nyata pelaksanaan prakerin, menjadi bahan pertimbangan untuk peningkatan
program prakerin selanjutnya.
Pelaksanaan diskusi:
a) Membagi peserta didik dalam kelompok kecil pada program
keahlian yang sama dan memberikan topik diskusi. Misalnya;
“Hambatan-hambatan yang dialami selama melaksanakan prakerin”.
b) Menunjuk seorang ketua kelompok untuk mengatur jalannya
proses diskusi.
c) Setiap anggota kelompok menyampaikan
pengalaman-pengalamannya, yang berkaitan dengan masalah berikut solusinya.
Setelah diskusi:
a) Ketua kelompok membuat kesimpulan tentang jalannya
diskusi.
b) Melaporkan hasil diskusi dalam bentuk tertulis sesuai dengan
topik yang diberikan.
Dari masukan hasil diskusi peserta didik dan analisis antara
program serta penilaian pembimbing Dunia Kerja, disimpulkan menjadi satu
rumusan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa peserta didik
yang bersangkutan sudah menyelesaikan seluruh aspek kompetensi, sehingga berhak
untuk mengikuti uji kompetensi dan sertifikasi serta perbaikan program prakerin
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Direkturat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejuruan, 2009, Bahan bimbingan teknis (Bimtek) Peningkatan Mutu
SMK ” Pelaksanaan Prakerin”, Jakarta
http://www.depdiknas.go.id/sikep/Issue/SENTRA1/F40.html, Ahmad Sonhadji K.H., Alternatif Penyempurnaan
Pembaharuan Penyelenggaraan Pendidikan Di Sekolah Menengah Kejuruan,
diunduh tanggal 5 Oktober 2009
http://galihsasongko.blogspot.com/2009_03_01_archive.html, diunduh tanggal 5 Oktober 2009
http://pkk.upi.edu/invotec_33-39.pdf., Tatang Permana, Pemahaman Konsep PSG Dan Intensitas
Bimbingan Terhadap Kemampuan Membimbing Siswa PSG, diunduh tanggal 5
Oktober 2009
0 komentar:
Posting Komentar