Pages

RELAWAN

RELAWAN

Jumat, 05 Juni 2015

Budaya : Merantau



Interaksi yang paling penting antara penduduk nagari Minangkabau dan dunia luar adalah melalui suatu proses yang dikenal dengan merantau, artinya pergi ke rantau, yaitu pergi ke luar daerah nagari. Rantau, dalam konteks ini dapat berlaku di manapun saja asal luar dari tempat asalnya, atau setidaknya tempat yang terdekat seperti pasar, atau kota atau sekolah-sekolah agama yang tidak jauh dari desanya, atau jauhnya sampai ke pelabuhan-pelabuhan Riau dan Batavia.

Rantau merupakan suatu petualangan pengalaman dan geografis. Orang nagari aktif mengunjungi rantau, secara sadar ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan sanak saudara untuk mencoba merantau, mengadu peruntungan. Proses ini untuk sebagian besar mungkin disebabkan oleh jaringan hubungan-hubungan yang tercermin dalam gagasan tentang timbal balik antara mamak dan kemenakannya. Umumnya ikatan pertalian darah, nagari kelahiran atau kesamaan nama suku membentuk mobilitas (gerakan) geografis dalam lingkungan. Alam Minangkabau dan di daerah-daerah tempat kelompok orang Minangkabau mendirikan tempat menetap yang semi permanen. Keluarga-keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara-saudara di kota-kota manapun di Sumatera Barat (dan sejak abad ke-19 hampir semua kota-kota utama di Indonesia).

Di nagari perbukitan dan nagari-nagari marginal lainnya ketika tanah persawahan tidak mendukung pemilikan tanah yang memadai, hampir setiap keluarga penduduknya memiliki tradisi merantau. Para pemuda akan meninggalkan kampung halaman mereka ketika bermur masih belasan tahun, baik sebagai magang pada seseorang dari anggota keluarga atau penduduk sedesa yang pergi merantau sebelumnya, maupun sebagai pengrajin sambilan atau pedagang bebas.

Sistem sosial Minangkabau membantu merangsang keinginan orang laki-laki untuk pergi meninggalkan desanya, terutama pemuda yang belum kawin. Pengawan atas tanah pertanian untuk sebagian besar dipegang oleh kaum wanita.

Setelah umur pubertas para pemuda tak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, tetapi justru tidur ke surau pada malam harinya. Pelajar-pelajar yang bepergian meninggalkan nagari dan guru-guru agama serta pedagang-pedangan juga tinggal di surau ketika bermalam di daerah yang dikunjunginya. Surau, dengan demikian berfungsi sebagai pusat informasi dan kontak-kontak mengenai kehidupan di luar nagari mereka. Pengalaman-pengalaman semacam ini menggugah minat dikalangan pemuda untuk melakukan pengembaraan.

Sumber :  Elizabeth E. Graves, 2007, Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respon terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Yayasan Obor Indonesia, jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar