Interaksi
yang paling penting antara penduduk nagari Minangkabau dan dunia luar adalah
melalui suatu proses yang dikenal dengan merantau, artinya pergi ke rantau,
yaitu pergi ke luar daerah nagari.
Rantau, dalam konteks ini dapat berlaku di manapun saja asal luar dari tempat
asalnya, atau setidaknya tempat yang terdekat seperti pasar, atau kota atau
sekolah-sekolah agama yang tidak jauh dari desanya, atau jauhnya sampai ke
pelabuhan-pelabuhan Riau dan Batavia.
Rantau
merupakan suatu petualangan pengalaman dan geografis. Orang nagari aktif mengunjungi rantau, secara
sadar ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan sanak saudara untuk mencoba
merantau, mengadu peruntungan. Proses ini untuk sebagian besar mungkin
disebabkan oleh jaringan hubungan-hubungan yang tercermin dalam gagasan tentang
timbal balik antara mamak dan kemenakannya. Umumnya ikatan pertalian darah,
nagari kelahiran atau kesamaan nama suku membentuk mobilitas (gerakan)
geografis dalam lingkungan. Alam Minangkabau dan di daerah-daerah tempat
kelompok orang Minangkabau mendirikan tempat menetap yang semi permanen. Keluarga-keluarga
yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara-saudara
di kota-kota manapun di Sumatera Barat (dan sejak abad ke-19 hampir semua
kota-kota utama di Indonesia).
Di nagari perbukitan dan nagari-nagari
marginal lainnya ketika tanah persawahan tidak mendukung pemilikan tanah yang
memadai, hampir setiap keluarga penduduknya memiliki tradisi merantau. Para pemuda
akan meninggalkan kampung halaman mereka ketika bermur masih belasan tahun,
baik sebagai magang pada seseorang dari anggota keluarga atau penduduk sedesa
yang pergi merantau sebelumnya, maupun sebagai pengrajin sambilan atau pedagang
bebas.
Sistem sosial
Minangkabau membantu merangsang keinginan orang laki-laki untuk pergi
meninggalkan desanya, terutama pemuda yang belum kawin. Pengawan atas tanah
pertanian untuk sebagian besar dipegang oleh kaum wanita.
Setelah umur
pubertas para pemuda tak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, tetapi justru
tidur ke surau pada malam harinya. Pelajar-pelajar yang bepergian meninggalkan
nagari dan guru-guru agama serta pedagang-pedangan juga tinggal di surau ketika
bermalam di daerah yang dikunjunginya. Surau, dengan demikian berfungsi sebagai
pusat informasi dan kontak-kontak mengenai kehidupan di luar nagari mereka. Pengalaman-pengalaman
semacam ini menggugah minat dikalangan pemuda untuk melakukan pengembaraan.
Sumber : Elizabeth E. Graves, 2007, Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respon terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Yayasan Obor Indonesia, jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar